Monday, January 5, 2015

Sekilas Ekonomi Indonesia 2014

Kondisi Ekonomi Global
Tahun 2014 merupakan tahun pemulihan dan stabilisasi ekonomi akibat fenomena kebangkrutan Lehman Brothers pada tahun 2008 serta krisis Eropa di Yunani pada tahun 2012. Untuk mengatasi fenomena krisis yang menimbulkan kepanikan pasar finansial global khususnya di Eropa dan AS tersebut, Amerika Serikat membuat sebuah kebijakan ekonomi yang tidak lazim yakni kebijakan Quantitative Easing. QE adalah salah satu kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral suatu negara guna meningkatkan jumlah uang beredar (money supply) di pasar.Kebijakan ini dilakukan antara lain dengan memangkas bunga menjadi 0,25% bahkan 0,1%, mencetak uang lebih banyak, serta dengan menyuntikkan likuiditas kepada Emerging Markets (EM). Kebijakan QE tersebut menyebabkan kelebihan likuiditas yang membuat pasar Amerika tidak dapat menyerap uang yang beredar. Hal tersebut membuat para investor lebih tertarik untuk mengalihkan dananya dari negara maju ke negara Emerging Markets (EM) sehingga menimbulkan euforia sementara kepada negara-negaraEM yang kebanyakan adalah negara berkembang.
Akan tetapi, selama periode 2008-2012, stimulus moneter QE yang diharapkan akan mendorong aktivitas perekonomian tersebut justru membawa efek samping, yakni menimbulkan dampak spekulatif (search for yield) dimana investor keluar dari aset finansial dgn yield rendah (mata uang, obligasi) ke aset yang lebih spekulatif (saham, HY bonds, komoditas, dsb.) serta menimbulkan fear effect yakni ketakutan akan inflasi yang mendorong investor ritel beralih ke aset riil (emas, properti, dsb.). Dampak ketiga yang ditimbulkan QE adalah dampak crypto-currency termasuk bitcoin yang merupakan peningkatan permintaan akan aset serupa uang yang aman dari manipulasi bank sentral.Akan tetapi, diluar semua efek samping spekulan tersebut, quantitative easing tetap berjasa membawa pemulihan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari angka minus 2,6% (2009) menjadi positif 1,7% (2013). Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi dunia juga mulai membaik dari angka minus 0,7% (2009) menjadipositif 2,7% (2013).
Kebijakan Quantitative Easing yang dirasa cukup berhasil memulihkan ekonomi global tersebut ditakutkan hanyalah pemulihan semu (liquidity traps) bagi ekonomi dunia, yakni semakin tergantungnya negara-negara EM terhadap pinjaman dana negara asing dengan bunga rendah dan ditakutkan skenario krisis ekonomi dunia akan berulang. Selain itu, kebijakan debt ceiling (pembatasan hutang) per 7 Februari 2014 juga menimbulkan tantangan lain. Ancaman krisis seperti yang terjadi di Eropa pada tahun 2007 lalu juga membayangi Prancis dengan indikator perekonomian yang tumbuh lamban serta tingginya pengangguran (12,1%) per Oktober 2013. Adanya deflationary environment (turunnya inflasi sebesar 0,6%) membuat masyarakat Eropa semakin menunda pembelian barang dan dikhawatirkan akan semakin menurunkan aktivitas ekonomi. Masalah di negara China juga membawa tantangan global tersendiri. Antara lain dengan rencana kenaikan pajak di China per April 2014, lemahnya konsumsi, lambatnya pertumbuhan ekonomi, tumpukan utang pemda, aktivitas shadow banking, krisis likuiditas perbankan, serta bubble property di beberapa wilayah China bagian Timur. Di wilayah India, juga memiliki masalah ekonomi yang hampir serupa dengan Indonesia, yakni maraknya serangan spekulan. Inflasi yang terjadi di India sangat tinggi, yaitu 11,5% dengan defisit transaksi berjalan di atas 4,2% terhadap PDB per September 2013.
Oleh karena itu, pada pertengahan tahun 2013, ketika ekonomi AS dan dunia mulai membaik, angka pengangguran menurun menjadi 6,7% serta angka inflasi yang rendah yaitu 1,5%, mendorong FED melakukan tapering setahap demi setahap. Tapering dilakukan dengan mengurangi suntikan likuiditas sebesar US$ 10 M/ bulan sehingga menimbulkan dana mengalir keluar dari EM menuju negara maju sebesar US$ 7,8 M untuk ekuitas dan US $ 2,0 M untuk obligasi (per Agustus 2013)karena investor khawatir akan terjadi colapse di negara EM. Mulai bulan Januari 2014, QE akan dikurangi setiap bulan sebesar 10 M hingga pada akhir tahun 2014 akan menjadi 0. Meskipun secara global IMF memprediksikan dengan adanya tapering akan semakin memulihkan ekonomi negara maju sehingga prognosa pertumbuhan ekonomi global meningkat dari angka 2,9% (2013) menjadi 3,6% (2014), tetap ada beberapa negara yang merasakan dampak atas financial outflow tersebut, khususnya negara-negara EM sehingga suntikan dana investasi luar negeri menjadi berkurang. Negara yang merasakan dampak langsung atas adanya tapering ini antara lain Indonesia, India, dan Brazil.
Isu revolusi shale gas di Amerika Serikat cukup menimbulkan keresahan bagi negara-negara Emerging Markets (EM). AS telah menemukan sebuah teknologi baru pengeboran minyak yaitu teknologi fracking dimana pengeboran tersebut bisa menembus bebatuan keras sehingga produksi minyak yang dihasilkan AS akan jauh lebih meningkat. Pada tahun 2030, AS diperkirakan akan menjadi negara net exportir minyak mengalahkan Arab Saudi. Teknologi tersebut tentu saja akan ditiru oleh negara-negara lainnya sehingga supply energi dunia (minyak dan batu bara) akan semakin melimpah dan harga minyak bumi & komoditas lainnya akan semakin anjlok. Bagi negara-negara pengekspor komoditas, tentu saja hal tersebut akan menjadi pukulan telak karena nilai ekspor akan semakin menurun dengan menurunnya harga komoditas. Pada akhirnya akan berdampak pada neraca perdagangan negara pengekspor komoditas serta dapat menyebabkan defisit neraca perdagangan yang semakin besar jika tidak diambil langkah pengamanan lebih lanjut.
Outlook Ekonomi Indonesia Tahun 2014
Perekonomian Indonesia memiliki kasus yang hampir mirip dengan negara India, yaitu maraknya serangan spekulan serta defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan pada tahun 2013 telah mencapai angka 3,5%. Akan tetapi, jika keadaan ekonomi dan konsumsi/impor dapat ditekan untuk tahun 2014 maka defisit hanya akan mencapai angka 2,8%. Keadaan defisit neraca tersebut sebenarnya sudah berlangsung sejak tahun 1997.Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu berubahnya negara Indonesia menjadi negara net oil importir sejak tahun 2003 setelah dulunya Indonesia adalah negara net oil exportir. Alasan kedua adalah sebelum terjadinya krisis moneter, setiap kali terjadi defisit, negara Indonesia selalu di-supply dana oleh IGGI/CGI. Semenjak pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai membaik dan Indonesia digolongkan sebagai negara menengah, pinjaman CGI/IGGI sekarang lebih bersifat komersiil. Kini, dengan adanya kedua faktor tersebut, Indonesia semakin tertekan. Ditambah dengan hasil ekspor yang kurang mencukupi, cicilan imbal hasil yang tinggi, serta meningkatnya subsidi.
Kondisi defisit neraca perdagangan tersebut diperparah dengan berubahnya life style masyarakat Indonesia. Terlebih saat periode menurunnya tingkat suku bunga BI Rate di Indonesia, tingkat konsumsi semakin menjadi-jadi karena banyaknya masyarakat yang mengambil kredit untuk barang konsumsi. Padahal, sebagian besar barang konsumsi kita (misal alat-alat elektronik, makanan di restoran, pakaian, dsb.) adalah barang impor. Jika konsumsi Indonesia tidak ditekan, impor negara Indonesia tidak akan sanggup mengimbangi ekspor luar negeri dan pada akhirnya defisit neraca perdagangan akan semakin besar.
Sebenarnya Indonesia pernah mengalami masa kejayaan setelah mengalami keterpurukan akibat krisis moneter tahun 1997-1998. Jika Indonesia menengok ke arah 5 tahun ke belakang (2008-2012), dapat dikatakan bahwa lima tahun lalu adalah lima tahun penuh kelimpahan (5 years of plenty). PDB kita terus menguat dari 6,0% menjadi 6,5%, BI rate menurun dari 9,5% menjadi 5,75%, dan menguatnya Rupiah. Kondisi kejayaan tersebut disebabkan oleh booming-nya komoditas Indonesia (harga barang-barang komoditas naik sehingga hasil ekspor tinggi) serta inflow modal (banjir likuiditas akibat QE). Akan tetapi, dengan tidak adanya reformasi stuktural yang meliputi pembenahan infrastruktur, produktivitas, serta pasar tenaga kerja, menyebabkan kondisi kelimpahan tersebut kembali ke kondisi normal pada tahun 2013. PDB yang terus menurun menjadi +/- 5%, BI rate terus meningkat hingga mencapai angka 8%, serta imbal hasil SUN 10Y yang mencapai >8% semakin menambah beban negara. Lalu bagaimanakah kondisi masa depan ekonomi Indonesia jika kebijakan struktural/ reformasi pemerintahan yang baru tidak segera mengambil langkah preventif?Terlebih di tengah tekanan isu US tapering serta revolusi shale gas Amerika yang otomatis menurunkan harga komoditas dunia.
Menengok kondisi Indonesia saat ini yang dapat dikatakan menurun dibandingkan lima tahun lalu, serta kekhawatiran akan kondisi masa depan, maka perancangan sistematis pembangunan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Semenjak GBHN dihapuskan, negara Indonesia mengalami kebingungan arah pembangunan sebab saat ini Indonesia hanya bergantung pada RJP. Seharusnya Indonesia meniru negara China dan Korea yang telah membuat perencanaan negaranya hingga 20 tahun ke depan. Di negeri Korea, industri alat-alat berat awal mulanya dibangun sehingga sesuai prediksi, akhirnya industri elektronik bisa berkembang. Korea juga membuat perencanaan melalui sosial budaya, yaitu budaya K-POP yang telah menyerbu negara lain hingga Jepang. Pada akhirnya budaya K-POP ini berpengaruh kepada ritel Korea (Cloth Mark).
Kondisi keterpurukan Indonesia akibat tapering USA tersebut memang membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Tahun 2013 Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terburuk di Asia serta nomor 2 di dunia setelah Argentina dan Peso.
Langkah Kebijakan Ekonomi Indonesia Tahun 2014
Setelah sejenak kita melihat perbandingan pembangunan ekonomi Indonesia dengan negara lain, sekarang kita lihat langkah kebijakan apa saja yang telah diambil oleh Indonesia sebagai langkah preventif untuk mengurangi defisit neraca berjalan pada tahun 2014. Menurut Gubernur BI, bagaimanapun juga, ekspor Indonesia tidak akan dapat ditingkatkan karena hal tersebut di luar kendali Indonesia. Harga barang komoditas sangat terancam oleh prospektus revolusi shale gas di USA. Terlebih adanya larangan ekspor atas beberapa logam antara lain nikel dan bauksit, tentu saja membuat neraca perdagangan Indonesia semakin minus. Dari perhitungan didapatkan bahwa pelarangan ekspor atas nikel dan bauksit itu sendiri menyumbang defisit sebesar 0,2%.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya yang diambil oleh Gubernur BI adalah dengan menekan pola konsumsi masyarakat yang kebanyakan merupakan konsumsi barang-barang impor. Cara pertama adalah dengan menaikkan Pajak Penghasilan atas impor sebagaimana secara eksplisit telah terlihat pada PMK-175/PMK.011/2013, bahwa impor baik dengan API maupun tanpa API atas barang-barang tertentu (sebagian besar barang-barang konsumsi), tetap dikenakan tarif 7,5% (sebelumnya impor barang dengan API hanya dikenakan tarif 2,5%. Langkah kedua adalah dengan meningkatkan PPnBM atas impor barang-barang yang tergolong lux, misalnya gadget, smartphone, dsb. Langkah selanjutnya adalah dengan menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Saat ini rupiah telah berkisar di antara level Rp11.000 hingga Rp12.000, padahal sebelumnya hanya berkisar pada level Rp8.500,-. Diperkirakan rupiah akan terus ditekan hingga mencapai level Rp12.500 pada akhir semester kedua tahun 2014 ini dengan harapan pola konsumsi masyakat juga dapat ditekan. Kebijakan selanjutnya yang diluncurkan BI adalah penurunan jumlah kredit. Tahun lalu BI memberikan prediksi pertumbuhan kredit yang digelontorkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 25%. Akan tetapi pada tahun 2014 ini, BI menurunkan prediksi pertumbuhan kredit menjadi 15%.
Terkait dengan adanya ancaman tapering USA, yield SUN Indonesia tertekan hingga mencapai level 8% ke arah 9%, padahal sebelumnya sempat mencapai angka 10-12%. Hal tersebut sebagian besar juga disebabkan oleh berkurangnya inflow modal akibat semakin ketatnya Quantitative Easing.
Selain itu, kondisi cuaca yang tidak mendukung pada awal tahun 2014 ini tentu saja mempengaruhi kondisi perekonomian negara Indonesia. Diperkirakan akibat meluasnya banjir, barang-barang konsumsi akan semakin langka sehingga akan terjadi inflasi sebesar 8,4%. Akan tetapi akan inflasi tersebut akan turun ke base 5%-6% pada bulan Juni ketika cuaca mulai membaik.
Beberapa faktor utama yang memperburuk perekonomian Indonesia adalah belum jelasnya aturan mengenai daftar negara yang boleh dan tidak boleh berinvestasi di Indonesia sehingga membuat investor menjadi enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Kemudian kebijakan LTV (Loan To Value) yang lebih memperketat penyaluran kredit untuk otomotif serta rumah kedua dst. membuat pertumbuhan sektor properti dan otomotif sedikit melamban. Adanya kesenjangan UMR antara daerah dengan Jakarta membuat banyaknya tenaga kerja yang berpindah ke kota serta memicu relokasi pabrik-pabrik di daerah. Pada akhirnya, tenaga kerja yang tidak berpindah akan mengalami kehilangan pekerjaan sehingga ancaman kredit macet properti akan meningkat akibat meningkatnya pengangguran.
Akan tetapi, di tengah faktor penekan ekonomi Indonesiasebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pada awal-awal tahun 2014, diharapkan diakhir tahun 2014 perekonomian Indonesia akan membaik. Setidaknya hal tersebut tertolong oleh diselenggarakannya Pemilu 2014. Pemilu bisa menjadi katalis positif bagi konsumsi dalam negeri, produktivitas industri, tenaga kerja, serta membawa harapan baru bagi investor untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia sehingga efek negatif tapering dapat dihindari.
Faktor-faktor positif lainnya yang juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah adanya sektor dollar earner misalnya konsumsi, transportasi, pariwisata. Selain itu daya beli masyarakat yang tinggi akibat meningkatnya UMR juga dapat menjadi stimulus untuk konsumsi dalam negeri. Kenaikan suku bunga pada level 8% akan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Ditambah dengan adanya wacana subsidi BBM yang tetap sehingga risiko fiskal menjadi rendah, mampu menambah rating Indonesia di mata investor.
Akhirnya, dengan menganalisis kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah serta faktor-faktor positif dan negatifnya, analis ekonom Indonesia optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,2% dari realisasi pertumbuhan ekonomi tahun, yaitu menjadi 5,8% dari angka 5,6%. Salah satu penyebab utama peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2% tersebut adalah adanya katalis Pemilu 2014 yang menyebabkan terjadinya konsumsi besar-besaran.
Sumber : http://m.kompasiana.com/post/read/631625/1/sekilas-ekonomi-indonesia-2014.html

No comments:

Post a Comment